Minggu, 31 Maret 2013

FIQHUZ_ZAKAT

Tujuan Instruksional
Setelah mendapatkan pembahasan ini, para peserta diharapkan mampu untuk :
1. Mengetahui urgensi zakat bagi individu maupun masyarakat.
2. Mengetahui hukum zakat (dalam tinjauan fiqhul ahkam).
3. Mengetahui kriteria person yang termasuk mustahik (obyek penerima) zakat dan yang tidak termasuk.
4. Mengetahui jenis-jenis zakat dan cara penunaiannya (dalam tinjauan fiqhul ahkam).
5. Mengetahui adab dalam berzakat.

Tujuan Khusus
1. Menunaikan zakat dengan ihsan sesuai dengan nishab-nya, sehingga terbentuk sifat shahihul_’ibadah pada diri kita.
2. Memiliki bekal pemahaman pada tataran dasar dalam menjalankan peran dan fungsi ‘amil zakat.


Pokok Materi
1. Definisi Zakat dalam Syari’at Islam.
2. Dalil dan Hukum Zakat.
3. Perbedaan Zakat dengan Pajak.
4. Urgensi Zakat
5. Mustahik (obyek penerima) zakat
6. Ketentuan Wajib Zakat
7. Ketentuan Jenis Zakat
8. Zakat Fitrah
9. Adab Berzakat

PENDAHULUAN
Zakat adalah pembersih jiwa dari sifat-sifat bakhil dan aniaya, selain ia juga pembersih harta kita dari hak-hak yang dimiliki oleh para mustadh’afiin. Penunaiannya memiliki arti besar dalam mewujudkan tatanan makro dari kehidupan bermasyarakat yang damai dan harmonis, bukan saja sekedar upaya pengentasan kemiskinan.
Sayangnya, pola kepengelolaan ZIS (Zakat-Infaq-Shadaqah) di kalangan kebanyakan kaum muslimin masih tampak ‘primitif’’ dan celakanya nampak cenderung telah mengalami pergeseran nilai akhlaq. Dirunut dari program dengan prospek tak jelas, inventarisasi mustahik yang tidak akurat hingga kepada pendistribusian yang dikacaukan kekentalan nepotisme/primordialisme. Walhasil tujuan utama zakat yaitu pengentasan kemiskinan, eliminasi jurang sosial-ekonomi dan pengangkatan harkat mustadh’afiin (kaum lemah) semakin jauh dari efektif dan adil. Determinan dari semua kekisruhan tersebut ternyata berujung kepada keremang-remangan pemahaman kita terhadap konsep zakat itu sendiri.
Bertumpu pada fenomena riil sedemikian inilah kita mengkaji fiqhuz_zakat ini.

DEFINISI ZAKAT DALAM SYARI’AT ISLAM.
Ditinjau dari aspek etimologi (kebahasaan), zakat berasal dari kata dasar zaka yang berarti : berkah, tumbuh, bersih dan baik. Juga berarti suci, tumbuh, berkah dan terpuji yang semuanya dipergunakan dalam Qur-an dan Hadits.

Sedangkan dalam tinjauan terminologi fiqhul ahkam diantaranya :
1. Imam Az_Zamakhsyari : “Sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada orang yang berhak”.
2. Imam Nawawi mengutip keterangan Imam Wahidi : “Sejumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itulah yang disebut zakat, karena yang dikeluarkan itu (sebenarnya) menambah banyak, membuat lebih berarti dan melindungi kekayaan itu dari kebinasaan”.
3. Imam Mawardi (menafsirkan kata ‘shadaqah’ dalam QS. 9 : 103) : “Shadaqah adalah zakat dan zakat adalah shadaqah, berbeda nama tetapi artinya sama”.

DALIL DAN HUKUM ZAKAT.
Meskipun telah turun ayat-ayat yang menyebutkan kata zakat pada fase Makkiyah – misalnya QS. Al Mu’minuun (23) : 4 - tetapi ayat-ayat yang diturunkan Allah di Madinah-lah – tepatnya mulai th. 2 H sebelum turun ayat shaum - yang menegaskan bahwa zakat itu wajib dalam bentuk perintah yang tegas dan instruksi pelaksanaan yang jelas. Misalkan QS. Al Baqarah (2) : 110 dan masih banyak lainnya. Qur-an surat At Taubah adalah salah satu surat yang menumpahkan perhatian besar pada zakat, misalkan ayat ke-5, 11, 18, 34-35, 58-60, 71 dan 103. Singkatnya, terdapat 30 kata zakat dalam Qur-an, dengan perincian : 27 berdampingan dengan kata shalat dalam satu ayat dan selebihnya terpisah.

Ayat-ayat diataslah yang menjadikan dalil/landasan mengapa harta kekayaan seluruh kaum Muslimin harus dikenakan zakat. Tetapi perlu dirincikan bahwa zakat pada periode Makkah tidak mengikat, tidak ditentukan mekanisme pengumpulan dan pembagian, tak dijelaskan nishab dan persentasenya, tetapi diserahkan kepada iman, kemurahan hati dan kepekaan tanggung jawab sosial dari seseorang belaka; tidak sebagaimana di periode Madinah.

Nabi Muhammad saw. pun menegaskan di Madinah bahwa zakat adalah wajib dan menjelaskan kedudukannya dalam Rukun Islam pada rukun yang ketiga, berdasarkan peristiwa Jibril mengajarkan agama kepada kaum Muslimin (para shahabiyun saat itu) dengan cara bertanya kepada Nabi saw. : “Apakah Islam itu ?” Lalu Nabi menjawab : “ Islam adalah mengikrarkan bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan haji bagi yang mampu” (HR. Muttafaqun ‘alaihi). Dan masih banyak lagi hadits-hadits serupa, bahkan yang merincikan detil tentak seluk beluk teknis dalam berzakat.

PERBEDAAN ZAKAT DENGAN PAJAK
Pajak adalah kewajiban yang ditetapkan oleh negara kepada wajib pajak yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentaun, yang digunakan untuk pembiayaan dan pengeluaran negara serta untuk merealisir tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara.
Zakat - menurut para fuqaha – adalah hak tertentu yang diwajibkan Allah SWT atas harta kaum Muslimin yang diperuntukan bagi kaum mustadh’afin sebagai tanda syukur kepadaNya dan sekaligus sebagai sarana mendekatkan diri kepadaNya.
Maka, dari definisi di atas kita dapat temukan :

Persamaan antara Pajak dengan Zakat :
1. Adanya unsur paksaan dan kewajiban untuk penunaiannya, bahkan dengan dihadirkannya ketentuan hukuman.
2. Pada dasarnya : disetorkan kepada lembaga yang mengayomi masyarakat (negara), baik pusat maupun daerah.
3. Tak ada imbalan penghargaan, melainkan kemudahan dalam menerima pelayan negara, perlindungan dan memperoleh berbagai fasilitas dalam kapasitas sebagai masyarakat biasa.
4. Memiliki tujuan sosial, ekonomi, politik, dsb.

Perbedaan antara Pajak dengan Zakat :
1. Nama dan etiketnya.
Arti zakat menurut bahasa adalah : suci, tumbuh dan berkah; menghadirkan gambaran indah secara kejiwaan.
Arti pajak (dharibah) menurut bahasa adalah hutang, pajak tanah, upeti, kutipan, dsb.; menghadirkan dalam nurani nuansa beban, paksaan dan sesuatu yang ingin dijauhi.

2. Hakikat dan tujuannya :
Zakat adalah ibadah karena menunaikan kewajiban dari Allah, membersihkan harta dari yang haram, menumbuhkan kesucian jiwa dari bakhil (bagi muzakki) dan dengki (bagi mustahik), dipastikan oleh Allah menumbuhkan kekayaan yang bersih dan menyebarkan kemakmuran.
Pajak hanya sebuah penunaian beban kewajiban kepada negara, sesuatu yang harus dibayar dan mengarahkan kepada kemiskinan, diragukan hadirnya kemanfaatan timbal-balik (tergantung tingkat amanah penguasa). Tidak lebih.

3. Batas Nisab dan ketentuannya :
Zakat adalah ditentukan bukan oleh nabi sekalipun, melainkan hanya Allah sebagai pembuat syari’at, Yang Maha Adil Lagi Maha Bijaksana; tidak bakal mencekik si kaya maupun menelantarkan si miskin.
Pajak adalah ditentukan tergantung pada kebijakan dan kekuatan penguasa baik mengenai obyek sasaran, persentase, harga dan ketentuannya, bahkan ditetapkan atau dihapuskannya pajak tersebut tergantung pada penguasa : masih dibutuhkan atau tidak.

4. Keabadian dan kelangsungannya :
Zakat adalah kewajiban yang berlaku sejak tahun 2 H hingga hari kiamat; tidak gugur karena keterlambatan penunaian.
Pajak selagi dibutuhkan ia bisa diadakan dan dilenyapkan bila dirasa efektif secara profit.

5. Sasaran Pengalokasiannya :
Zakat memiliki sasaran yang sangat terang, jelas dan terbakukan.
Pajak memiliki sasaran yang relatif acak bahkan klise, tergantung kepada tujuan, kepentingan, keahlian dan keamanahan penguasa.

6. Hubungan :
Zakat menjembatani hubungan timbal-balik yang harmonis antara hamba dengan Rabb-nya secara (indirect) dan hubungan mutualisma timbal-balik dengan masyarakat manusia secara (direct).
Pajak hanya menjembatani hubungan antara wajib pajak dengan negara; manfaat timbal balik hanyalah sesuatu yang berada pada batasan ‘diharapkan’.

7. Zakat adalah ibadah dan pajak sekaligus.

URGENSI ZAKAT
Urgensi dan manfaat zakat bagi diri orang yang berzakat adalah :
1. Mensucikan harta yang halal.
2. Mensucikan jiwa dari bakhil.
3. Mendidik berinfaq dan memberi.
4. Mengobati hati dari hubbud_dunya.
5. Mengembangkan kekayaan batin.
6. Mengembangkan harta.
7. Manifestasi rasa syukur.
8. Menarik rasa simpati dan cinta

Urgensi dan manfaat zakat bagi diri orang yang menerima zakat adalah :
1. Mengentaskan dari belenggu kemiskinan.
2. Menghilangkan rasa dengki dan benci.

Urgensi dan manfaat zakat bagi kehidupan masyarakat adalah :
1. Mendidik ummat untuk jauh dari sikap meminta-minta.
2. Menjamin penghidupan bagi kalangan yang tak mampu bekerja.
3. Memberikan pengharapan bagi orang yang tertimpa musibah dan kesulitan.
4. Memperkeci jumlah orang yang hidup membujang.
5. Mengayomi dan menafkahi para pengungsi.

KALANGAN MUSTAHIK (OBYEK PENERIMA) ZAKAT
Qur-an secara khusus telah merincikan terhadap siapa saja zakat harus diserahkan, yaitu dalam QS. At Taubah (9) : 58-60. Jika diuraikan ayat tersebut, maka golongan yang dihalalkan menerima zakat adalah :
1. Kaum fakir.
2. Kaum miskin.
3. ‘Amil zakat
4. Muallaf
5. Dalam rangka memerdekakan budak belian
6. Gharimin (Orang yang berhutang)
7. Mujahid fii sabiilillah
8. Ibnu Sabil

Kepada siapa zakat yang lebih prioritas ditunaikan ? Lihat firman Allah SWT dalam QS. Al Baqarah ayat 273 :
“Berinfaqlah kepada orang-orang fakir yang terikat oleh jihad di jalan Allah. Mereka tak dapat berusaha di muka bumi. Sementara itu, orang-orang yang tak mengetahui menyangka mereka orang kaya, disebabkan mereka memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenali mereka dengan melihat sifa-sifat mereka yang tidak meminta kepada orang-orang secara mendesak”.
Diktum ilahi di atas menggariskan ketentuan bagi kita untuk memprioritaskan pengalokasian infaqnya kepada kaum fakir yang terikat berjihad di jalan Allah, bukan kalangan orang yang mempertontonkan kemiskinannya dan peminta-minta di tempat umum, pasar-pasar, pintu-pintu masjid, sebagaimana yang telah menjadi asumsi klasik selama ini. Siapakah mereka ? Mereka itulah para du’at fii sabiilillah, yang sedemikian sibuknya menghabiskan jerih upaya dalam berda’wah hingga kurang mampu mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya, sedangkan mereka sedemikian baik berlakon untuk tidak meminta belas kasih manusia. Mereka itulah seutama sosok mustahiq, yang justeru kerap diabaikan orang. Lihat pula pernyatan Nabi saw dalam sebuah hadits shahihnya :
“Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta agar diberi sesuap makanan atau satu-dua biji kurma, tetapi ialah mereka yang hidupnya tidak berkecukupan kemudian diberi sedekah dan mereka tidak pergi meminta-minta kepada orang”. (HR. Bukhari-Muslim)

Karena zakat adalah ‘pajak’ yang memiliki ketentuan khusus (untuk merealisir tujuan-tujuan tertentu), maka tidak dibenarkan bagi sembarang manusia untuk menerima/mengambil zakat; begitupula tidak dibenarkan bagi si pemilik harta maupun penguasa menyalurkan zakat sekehendak hati tanpa tepat pada sasaran. Secara umum golongan yang diharamkan menerima zakat adalah :

1. Orang kaya, termasuk anak kecil yang dianggap kaya karena orang tuanya kaya.
2. Orang dewasa yang sehat dan kuat yang mampu bekerja, kecuali jika setelah ia berusaha maksimal memenuhi nafkah dan kebutuhan keluarganya tetapi tetap tak mendapatkannya (QS. Adz_Dzaariyaat (51) : 19).
3. Mulhidin (orang tak beragama/atheis), kafir harbi (orang kafir yang memerangi Islam dan kaum Muslimin) menurut jumhur ‘ulama dan kafir zimmi (orang kafir yang tidakmemerangi Islam dan kaum Muslimin, tunduk kepada penguasa Islam dan membayar pajak) menurut jumhur fuqaha. Adapun bagi kalangan orang yang fasik – misalkan orang yang tidak melaksanakan shalat fardhu – maka Ibnu Taimiyah berfatwa : “Jangan diberi zakat kepada orang yang orang yang tidak bias ditolong untuk taat kepada Allah SWT, sebab sesungguhnya Allah SWT mewajibkan zakat untuk menolong ketaatan kepadanya. Barang siapa yang tidak shalat dari kelompok mustahik zakat, maka jangan diberi suatu apapun juga sehingga ia bertaubat dan mengerjakan shalat”.
4. Keluarga dari si pemilik harta/pembayar zakat, yaitu : anak, kedua orang tua dan (para) isterinya. Tetapi dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ‘ulama dan fuqaha, juga termasuk hal berzakat kepada anggota keluarga yang lainnya.
5. Keluarga Nabi Muhammad saw. dari Bani Hasyim dan Bani Muthalib.

KETENTUAN WAJIB ZAKAT
Secara umum, segala sesuatu yang Allah SWT telah rizqikan kepada manusia yang berharga disebut dengan al amwaal (harta kekayaan). Rumah hunian, pakaian, buku-buku, kendaraan, komputer, perangkat komunikasi dsb. adalah termasuk harta kekayaan. Wajibkah atasnya zakat ? Dan pedagang yang memiliki modal dan barang dagangan tetapi ia juga berhutang, wajibkah ia berzakat atas miliknya itu ? Sementara di lain sisi, seorang yang berharta tetapi sebagaian hartanya itu sedang dipinjam oleh orang lain, apakah harta pinjaman itu wajib dizakatkan ?
Keadilan yang diajarkan oleh syari’at Allah dan prinsip muruunah (kemudahan/keluwesan) yang ada di dalamnya, tidak mungkin membebani kaum muslimin dengan sesuatu yang di luar kemampuannya apalagi menyungkurkan mereka ke dalam kesulitan yang Allah sendiri tidak menginginkannya. Oleh karena itu, haruslah diberikan pembatasan yang definitif tentang karakter al amwaal yang wajib dizakatkan dan syarat-syaratnya sebagaimana penjelasan berikut :

Syarat-syarat Kekayaan yang Wajib Zakat
1. Milik penuh
2. Harta Berkembang
3. Telah cukup se-nishab
4. Kelebihan dari kebutuhan pokok
5. Bebas dari hutang
6. Telah haul (berlalu setahun dari masa kepemilikan)

Keterangan no. 1 :
Nash : QS. Al Baqarah (2) : 254, Ali Imran (3) : 180, An Nuur (24) : 33, Al Hadiid (57) : 7

Bagiamanapun pemilikan penuh di sini bukanlah pemilikan sesungguhnya karena pemilik sesunguhnya hanya Allah SWT. Kepemilikian di sini berarti penyimpanan, pemakaian dan pemberian wewenang yang Allah berikan kepada manusia, sehingga dijadikan sang manusia menjadi khalifahNya dan agar memiliki rasa tanggung jawab atas sesuatu yang diamanahkanNya itu.

Milik penuh adalah dua kata yang dapat diuraikan menjadi dua terminologi : kepemilikan dan penuh-utuhnya kepemilikan. Kepemilikan adalah infinitif yang berarti menguasai dan dapat dipergunakannya . Syaikh Ahmad Abdurrahim Ad Dahlawi – fuqaha dari India – menyatakan : “Makna pemilikan sesuatu oleh manusia adalah bahwa ia lebih berhak menggunakan sesuatu daripada orang lain” . Sedangkan milik penuh adalah bahwa kekayaan itu harus berada di bawah kontrol dan di bawah kekuasaannya . Sebagian fuqaha mensyaratkan bahwa : kekayaan itu harus berada di tangannya, tidak tersangkut di dalamnya harta milik orang lain, dapat ia pergunakan dan faedahnya dapat dinikmatinya . Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa seorang pedagang tidak wajib zakat bila barang yang dibelinya belum sampai di tangannya; begitu pula dengan barang yang di rampok atau diselewengkan. Sebab lain suatu harta tidak wajib zakat misalnya barang yang digadaikan . Segolongan lain ahli fiqh – dari mazhab Zaidiyah - mensyaratkan adanya kemantapan dalam pemilikan penuh status kekayaan : harus ditangan pemiliknya, pemiliknya tahu barang itu berada, tak ada penghalang untuk mengambilnya. Termasuk dalam kategori ini barang yang dipinjam atau dititpkan tetapi mantap/dapat diharapkan untuk kembali ke pemiliknya. Perhitungan zakatnya berlaku sejak barang itu kembali dibawah kekuasaannya .

Penjabaran lebih lanjut dari keterangan di atas :
1. Ghanimah (seperlima harta rampasan perang) tidak wajib zakat, karena penggunaannya akan kembali bagi kepentingan komunal kaum Muslimin .
2. Tanah waqaf tidak wajib zakat, karena hanya diberikan bagi para mustahiq penerima zakat dan/atau penggunaannya akan kembali bagi kepentingan komunal kaum Muslimin.
3. Harta haram (yang diperoleh dari hasil rampokan, curian, sogokan, riba, judi, dll.) tidak wajib zakat. Contoh yang paling konkrit adalah kekayaan para penguasa zhalim, koruptor kecil maupun besar dan lintah darat : kekayaan yang diperoleh secara ilegal tersebut pada hakikatnya dianggap bukan milik mereka sekalipun telah bercampur dengan harta sah milik mereka. Mayoritas fuqaha berpendapat : kekayaan yang diperoleh secara tidak sah tersebut tidaklah wajib dizakatkan. Sebab kekayaan itu harus dishadaqahkan (dikembalikan kepada pemiliknya yang berhak) tidak saja sebagian tetapi secara keseluruhan. Hal ini didasari oleh sebuah hadits dengan sanad periwayatan shahih yang ditakhrij oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahih-nya tentang pernyataan Rasulullah saw. : “Tidak diterima shadaqah dari kekayaan ghulul (yang diperoleh secara tidak sah)”

Bahkan dalam tinjauan lain, fuqaha seperti Imam Sarkhasi dan lainnya berfatwa : “Boleh memberikan shadaqah (zakat) kepada penguasa yang korup, karena pada hakikatnya jika kekayaan mereka yang merupakan milik orang banyak itu dikembalikan seluruhnya kepada pemiliknya, mereka adalah orang yang tidak memiliki apa-apa dan jatuh miskin”.
4. Harta pinjaman (hutang atau piutang).
Apakah zakatnya wajib bagi pemiliknya (pemberi pinjaman) ataukah peminjamnya ? Banyak ikhtilaf (perbedaan pendapat) dikalangan para fuqaha bahkan para ‘ulama salaf (generasi shahabiyun ra.). Di antaranya sebagai berikut :
Pendapat 1 : Sahabat Rasulullah saw bernama Ikrimah ra. dan ‘Atha ra. berpendapat keduanya tak wajib berzakat karena adanya ketumpangtindihan tanggung jawab : “Yang meminjam tidak mengeluarkan zakatnya, begitu pula yang meminjamkan sampai kekayaan itu berada kembali di tangannya.” Ibnu Hazam meriwayatkan pula dari ‘Aisyah ra. : “Pinjaman tidaklah wajib zakat”.
Pendapat 2 : Ibrahim An Nakha’i (generasi tabi’in) menambahkan ketentuan di atas dengan pendapatnya bahwa zakat harta pinjaman dibebankan kepada yang menikmati (peminjam) apabila ia mengulur-ulur pembayarannya.

Pendapat 3 : Jumhur (mayoritas) fuqaha dari masa shabat hingga generasi selanjutnya berpendapat bahwa pinjaman terbagi menjadi 2 jenis :
a. Pinjaman yang dapat diharapkan kembali : dizakatkan bersama kekayaan yang ada setiap tahun. Hal ini diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid dari ‘Umar ibn Khattab, ‘Utsman ibn ‘Affan, ‘Abdullah ibn ‘Umar dan Jabir ibn Adullah dari pihak generasi shahabiyun ra., dan dikuatkan oleh Jabir ibn Zaid, Imam Mujahid, Ibrahim An Nakha’I dan Maimun ibn Mahran dari pihak generasi tabi’in ra.
b. Pinjaman yang tidak dapat diharapkan kembali, terbagi dalam beberapa pendapat :

a. Zakatnya ditunaikan semasa tahun-tahun kekayaan tersebut masih di tangan si pemberi pinjaman. Ini adalah pendapat ‘Ali ibn Abi Thalib dan Ibnu Abbas.
b. Zakatnya ditunaikan untuk setahun saja. Ini adalah pendapat Hasan dan ‘Umar ibn Abdul ‘Aziz yang merupakan pendapat Imam Maliki tentang semua jenis hutang (diharapkan kembali maupun yang tidak).Namun ditambahkan pula bahwa yang dimaksud piutang disini adalah piutang dagang (nilai barang dagangan yang diperhutangkannya. Tetapi bila hutang saja maka tidak wajib zakat.

DR. Yusuf Al Qardhawi menyimpulkan dalam Kitab Fiqh Zakat-nya bahwa pada umumnya kekayaan yang ‘belum konkrit’ sama dengan kekayaan yang baru diterima (konkrit) untuk tidak wajib dizakatkan selama masih ditangan peminjam. Baru diwajibkan zakatnya bila sudah dipulangkan kepada pemilik harta tanpa mempersyaratkan harus satu tahun (haul).

Keterangan no. 2 :
Nash : Hadits dengan sanad Shahih (yang dikeluarkan Imam Muslim)
“Seorang Muslim tidak wajib mengeluarkan zakat dari kuda atau budaknya”.

Sebagaimana hadits di atas, Nabi saw. tidaklah mewajibkan zakat atas kekayaan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi. Hal ini diperkuat pula oleh perilaku langsung beliau dan tindakan para sahabat dan para khalifah. Imam Nawawi pun menegaskan bahwa hadits tersebut merupakan landasan bahwa kekayaan untuk pemakaian pribadi tidaklah wajib zakat.

Ketentuan tentang kekayaan yang wajib dizakatkan adalah bahwa kekayaan itu dikembangkan dengan sengaja (misalnya : barang dagangan) atau memiliki potensi untuk berkembang (misalnya : emas atau perak yang disimpan).

Beberapa fuqaha mendefinisikan kata nama’ (berkembang) menurut terminologi bahasa berarti bertambah. Tetapi ditinjau dari terminologi syari’at, makna kata tersebut terbagi dua : bertambah secara konkrit dan bertambah tidak secara konkrit. Bertambah secara konkrit adalah kekayaan itu bertambah akibat pembiakan, perdagangan dan sejenisnya. Bertambah secara tidak konkrit adalah kekayaan itu berpotensi bertambah/berkembang, baik berada di tangannya maupun di tangan orang lain atas namanya.

Pengertian yang ditetapkan para fuqaha di atas berdasarkan kepada petunjuk Rasulullah saw dan tindakan par Khulafaa-ur Rasyidin itu sesuai denagn pengertian kata asal zakat itu sendiri (zaka), yaitu tumbuh, berkembang. Manakala zakat khusus ditujukan atas kekayaan yang berkembang, maka kepada orang yang memilikinya diperintahkan agar memperhatikan dan mengeluarkan zakatnya. Artinya, wajibnya suatu harta untuk dizakatkan adalah karena berkembangnya. Contoh konkrit pelaksanaan :
1. Kaum Muslimin generasi awal (para sahabat Rasulullah saw.) tidak diusik oleh pewajiban zakat atas hewan penarik, rumah kediaman, perkakas kerja, perabot, dll. Disebabkan itu semua adalah tidak termasuk kekayaan berkembang atau berpotensi dikembangkan.
2. Para fuqaha menyatakan bahwa orang yang tidak dapat mengembangkan kekayaannya sendiri atau oleh orang lain atas namanya, ia bukanlah wajib zakat.

Keterangan no. 3 :
Nash : Hadits dengan sanad Shahih
“Zakat hanya dibebankan ke atas pundak orang kaya”.

Islam tidak mewajibkan zakat atas berapapun besar suatu kekayaan yang berkembang apabila belum mencapai batasan nominal kekayaan untuk wajib dizakatkan, yang dalam ilmu fiqh disebut nishab.
Ketentuan bahwa kekayaan yang terkena kewajiban dizakatkan setelah melewati batasann se-nishab telah disepakati oleh para fuqaha, kecuali : hasil pertanian & buah-buahan dan logam mulia. Contoh :
Pendapat 1 : Abu Hanifah berpendapat bahwa banyak atau sedikitnya hasil yang tumbuh dari tanah harus dikeluarkan zakatnya 10 %. Hal ini berdasar kepada pendapat shahabi Ibnu Abbas ra., ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, dll.
Pendapat 2 : Jumhur (mayoritas) fuqaha berpendapat bahwa nishab-lah yang menentukan pewajiban zakat pada seluruh jenis kekayaan, tidak saja kekayaan dari hasil yang tumbuh dari tanah saja. Pendapat ini didasarkan kepada hadits Rasulullah saw. : “Di bawah lima kuintal tidak ada zakatnya”

Keterangan no. 4 :
Nash : QS. Al Baqarah (2) : 219
“Mereka bertanya kepadamu Muhammad tentang apa yang akan mereka berikan”. Katakanlah : “Sesuatu yang lebih”.
Hadits dengan sanad Shahih :
“Zakat hanya dibebankan ke atas pundak orang kaya”.

Syarat wajib zakat berikutnya adalah bahwa harta tersebut adalah kelebihan dari kebutuhan rutin. Penjelasan Ibnu Abbas ra. (mufassir generasi shahabi) tentang “Sesuatu yang lebih” pada QS. Al Baqarah (2) : 219 di atas adalah sesuatu yang lebih/di luar dari kebutuhan pokok keluarga. Ibnu Katsir memperkuat penjelasan Ibnu Abbas dengan pernyataannya : “Ibnu ‘Umar, Mujahid, ‘Atha, Ikrima, Sa’id bin Jubair, Muhammad bin Ka’ab, Hasan, Qatada, Kasim, Salim, ‘Atha Khurasani, Rabi’ah bin Anas dll. berpendapat demikian pula yaitu bahwa arti al afwu dalam ayat tersebut adalah lebih”.
Pernyataan Imam Bukhari dalam Kitab Shahih-nya pada Bab Nasihat-nasihat dengan judul Zakat : “Zakat hanya dibebankan ke atas pundak orang kaya. Orang yang berzakat sementara ia dan keluarganya membutuhkan atau ia mempunyai hutang, maka kebutuhannya atau hutangnya itu lebih penting ditunaikan terlebih dahulu ketimbang berzakat ” Komentar Al Hafidz Ibnu Hajar al Atsqalani atas pernyataan gurunya diatas :“Ia mungkin berpendapat dalam menafsirkan hadits di atas bahwa syarat seseorang wajib berzakat adalah bahwa ia dan orang yang di bawah tanggungannya tidak menjadikannya kebutuhan pokok mereka”.

Keterangan no. 5 :
Pemilikan yang sempurna menjadikan syarat suatu harta menjadi wajib dizakatkan. Bila sesorang yang ingin berzakat memiliki hutang yang menyebabkan hartanya jurang dari se-nishab, maka zakat tidak wajib baginya. Ibnu Rusyd (Averoes) menyatakan bahwa maksud syari’at yang paling jelas adalah menghendaki agar kewajiban zakat digugurkan dari orang yang berhutang. Hal sedemikian adalah sesuai dengan landasan-landasan berikut :
Pendapat 1 : Jumhur (mayoritas) fuqaha berpendapat bahwa pemilik piutang adalah orang yang palik layak berzakat, karena piutang itu adalah kekayaannya. Seandainya zakat harus dikeluarkan oleh orang yang berhutang, ini akan berakibat ketumpangtindihan yang tidak dikehendaki oleh syari’at.
Pendapat 2 : Abu ‘Ubaid meriwayatkan dari sumber Saib bin Yazid : “Saya mendengar ‘Utsman bin Affan berkata : “Ini adalah bulan zakat, siapa yang memiliki hutang, bayarlah sebelum kalian mengeluarkan zakat kalian”. Bunyi teksnya menurut Malik : “Siapa yang memiliki hutang, bayarlah terlebih dahulu, kemudian baru ia mengeluarkan zakat dari sisanya”. Menurut Baihaqi, ‘Utsman bin Affan mengucapkan kalimat tersebut pada pidatonya di hadapan para shahabat Rasulullah saw lainnya, sedangkan mereka tidak menyanggahnya. Hal ini menunjukkan bahwa para shahabiyun tersebut menyetujuinya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Jumhur (mayoritas) fuqaha berpendapat (menyimpulkan) bahwa hutang merupakan penghalang wajibnya berzakat atau paling sedikit mengurangi ketentuan wajibnya, dalam kasus jenis kekayaan tersimpan/tidak terlihat (misalnya : uang, harta benda dagang, dll.). Yang berpendapat sedemikian ini adalah : ‘Atha, Sulaiman bin Yasar, Hasan, Ibrahim An Nakha’I, Laits, Malik, Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’I, Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Abu Tsaur, Abu Hanifah dkk. Hanya Rabi’ah, Hammad bin Salman dan Imam Syafi’I dalam Qaul Jadid-nya yang menentang hal tersebut. Tetapi pada jenis kekayaan yang terlihat (misalnya : ternak, hasil pertanian, dsb) maka segolongan ahli fiqh berpendapat bahwa hutang bukan penghalang wajibnya berzakat. Ini menurut pendapat Malik, Al Auza’I dan Syafi’I menurut riwayat Imam Ahmad bin Hanbal.
Syarat – yang tidak diperselisihkan oleh para fuqaha - hutang yang menggugurkan kewajiban berzakat adalah bahwa hutang itu menghabiskan atau mengurangi jumlah senishab, sedangkan yang lain tak ada lagi untuk mengganti atau untuk mengimbalinya.

Keterangan no. 6 :
Nash : Hadits marfu’ (bersambung sanad periwayatannya hingga Rasulullah saw.) dengan sanad Shahih :
“Tidak ada zakat atas suatu kekayaan hingga berlalu satu tahun”.

Ibnu Rusyd menyatakan : Jumhur (mayoritas) fuqaha mempersyaratkan emas, perak dan ternak untuk wajib dizakatkan setelah satu tahun. Hal sedemikian ini berlandaskan :
a. Penerapan yang dilakukan oleh para Khulafaa-ur Raasyidin
b. Populernya hal itu di kalangan shahabiyun ra.
c. Populernya hal itu di kalangan masyarakat
d. Keyakinan para ‘ulama bahwa kepopuleran sedemikian itu berarti tidak diperselisihkan, sehingga merupakan ketetapan (tauqif)
Persoalan yang tidak diperselisihkan oleh seorang pun para ‘ulama salaf (generasi shahabiyun) maupun khalaf (generasi kini) adalah bahwa zakat kekayaan nominal (misalnya : ternak, uang, harta benda dagang, dsb.) hanya diwajibkan zakat 1 x dalam 1 tahun, tidak dipungut 2 x dalam tahun itu juga. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari sumber Syaifuddin Az Zuhri : “ Tidak pernah terdengar oleh kita ada seorang pemimpin ummat ini yang berada di Madinah – yaitu Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman – menggembar-gemborkan zakat. Tetapi, mereka hanya mengirim petugas-petugas setiap tahun baik diwaktu makmur maupun paceklik, disebabkan pemungutan zakat itu merupakan sunnah dari Rasulullah saw”.

Mujtahid besar Ibul Qayyim al Jauzi berkata tentang pedoman yang diberikan Rasulullah saw. tentang zakat : “Beliau saw. hanya mewajibkan zakat itu 1 x dalam 1 tahun. Satu tahun buat tanaman dan buah-buahan adalah waktu matangnya. Ini sangatlah adil, sebab bila diwajibkan sekali sebulan atau seminggu, akan menyakiti pemilik kekayaan; bila diwajibkan sekali seumur hidup akan menyakiti orang-orang miskin. Oleh karena itu, yang paling adil adalah mewajibkannya dalm satu tahun”.

KETENTUAN JENIS ZAKAT
Dari penjelasan tentang ketentuan wajib zakat di atas, dapatlah kita cirikan secara umum bahwa zakat terfokus hanya kepada al amwaal (harta kekayaan), bukan maal (harta keseluruhan). Beberapa bentuk dan kelompok harta kekayaan yang wajib dizakatkan adalah sebagai berikut :

Zakat Harta dalam bentuk Emas, Perak atau Perhiasan
a. Nishab emas = 20 mitsqal ( 85 gram), zakatnya 2,5 % dihitung setelah 1 tahun (haul).
b. Nishab perak = 200 dirham ( 595 gram), zakatnya 2,5 % dihitung setelah 1 tahun (haul).
c. Nishab perhiasan = sejumlah ukuran mata uang (emas  85 gram), zakatnya 2,5 % dihitung setelah 1 tahun (haul).
Zakat Harta dalam bentuk Harta Perniagaan
Para fuqaha telah mensyaratkan zakat hasil perniagaan sebagai berikut :
1. Pedagang memiliki barang dagangannya dengan sempurna (100 %).
2. Nilai barang dagangannnya telah mencapai nishab emas.
3. Barang dagangannya telah sampai masa 1 tahun (haul).

Cara melakukannya :
Pedagang harus mencatat dang menghitung dengan teliti nilai jumlah keuangan setiap awal masuknya haul. Setelah dijumlah total, barulah dikeluarkan zakatnya 2,5 % bila telah mencapai masa 1 tahun.
Zakat Harta dalam bentuk Harta Hasil Pertanian
Nishab harta hasil pertanian = 5 sha’ ( 653 kg beras gabah =  520 kg beras bersih).
Zakatnya terbagi mejadi 2 jenis : a. 5 % tiap 1 nishab (jika diairi sendiri).
b. 10 % tiap 1 nishab (jika diairi dengan air hujan atau sungai).
Zakat Barang tambang dan Rikaz (Harta Karun/Temuan)
Emas dan perak yang di dapat dari hasil tambang harus langsung dizakatkan sebesar 2,5 %. Sedangkan emas dan perak yang di dapat dari hasil temuan dizakatkan sebesar 20 % tanpa mensyaratkan harus lewat masa 1 tahun (haul).

Zakat Profesi/Penghasilan
Nishab penghasilan tetap (gaji/upah/honor) dari suatu profesi dihitung seperti nishab harta hasil pertanian, yaitu 5 sha’ (kl 653 kg beras gabah = kl 520 kg beras bersih). Zakatnya sebesar 2,5 % tanpa mensyaratkan harus telah lewat masa 1 tahun (haul). Sedangkan pendapatan yang di dapat dari sumber tak terduga (misal : hadiah, bonus, dsb), maka zakatnya dikeluarkan sebesar 20 % tanpa mensyaratkan harus telah lewat masa 1 tahun (haul). Adapun zakat dari komisi adalah 10 % tanpa syarat haul.

ZAKAT FITRAH
Terdapat satu buah komponen yang berada diluar lingkup al amwaal dan memiliki wilayah ketentuan khusus dalam menzakatkannya yaitu Zakat Fitrah.
Ditinjau dari aspek etimologi (kebahasaan), fithrah berasal dari kata dasar futhuur yang berarti : berbuka (dari puasa) dan fithri yang berarti : asal kejadian. Dipergunakan dalam Qur-an dan Hadits istilah shadaqah untuk zakat fitrah – seolah-olah shadaqah dari fithrah (bermakna : asal kejadian) – untuk zakat yang diwajibkan.

Sedangkan dalam aspek terminologi fiqhul ahkam adalah : zakat yang diwajibkan untuk mensucikan orang yang berpuasa Ramadhan dari ucapan kotor dan perbuatan yang tak bermanfaat, dengan memberi makan para faqir-miskin dan mencukupkan kebutuhan mereka serta menghindarkan mereka dari meminta-minta pada Hari ‘Idul Fithri.
Adapun dalil yang dijadikan landasan pewajiban secara pasti dari zakat fitrah adalah sebuah hadits Rasulullah saw ber-sanad shahih dari Ibnu ‘Umar :
”Sesungguhnya Rasul saw. telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan 1 sha’ kurma atau 1 sha’ gandum kepada setiap muslim yang merdeka, hamba sahaya, laki-laki maupun perempuan dari kaum Muslimin”.

Dari riwayat hadits di atas dapatlah dirumuskan syarat wajib zakat fithrah , yaitu :
1. Muslim, merdeka maupun budak, pria maupun wanita.
2. Nishab : adanya kelebihan makanan, kebutuhan pokok maupun rumah dan perabotnya pada malam ‘Id dan pada hari ‘Id.
Berarti wajar jika jumhur ‘ulama kemudian mensyaratkan pewajiban zakat fitrah pun berlaku bagi si faqr atau si miskin yang pada hari ‘Id tersebut masih memiliki makanan, atau perabot rumah dan kebutuhan poko lainnya. Berkata Imam Ibnu Qudamah : “Dengan demikian hutang yang masih bertempo tidak mencegah pula dari menunaikan zakat fitrah, tidak sebagaimana zakat harta”. Terkecuali jika hutangnya harus dibayarkan saat itu juga, maka harus didahulukan ketimbang membayarkan zakat fitrah.
Ukuran wajib bagi penunaian zakat fitrah adalah 1 sha’ dari setiap jenis makanan. Atas dasar itu maka sebagian ulama ada yang berpegang teguh pada takaran bukan pada timbangan/massa (padahal gandum, kurma, anggur maupun biji-bijian satu dengan lainnya tidak memiliki masa jenis yang sama). Kalaupun dapat ditemukan kurs timbangan dari 1 sha’ adalah :

1 sha’ =  liter Mesir = 1  wadah Mesir = 2167 gram (berdasarkan timbangan dengan gandum)

Berkata Imam Nawawi, “Telah menjadi sulit membuat batasan 1 sha’ dengan timbangan, karena 1 sha’ di zaman Rasulullah saw. takarannya diketahui dan berbeda-beda ukuran timbangannya karena perbedaan berat jenis bendanya”.
Ketentuan yang paling masyhur tentang jenis benda yang ditunaikan untuk zakat fitrah adalah makanan pokok pada waktu biasa, bukan pada waktu darurat, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Syafi’i dalam Qaul Qadim-nya, juga Imam Nawawi. Sedangkan tentang penggantian makanan pokok dengan uang senilai, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha dalam mensikapinya :
a. Pendapat Imam Syafi’I, Imam Hazm, Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Malik mengambil pendapat dari Ibnu Umar : menyerahkan zakat fitrah dengan uang seharga (pengganti) bahan kebutuhan pokok adalah bertentangan dengan sunnah Nabi saw.
b. Pendapat Imam Abu Ishaq, Atha ibn Abi Thawush, Imam Sufyan ats_Tsauri dan Imam Abu Hanifah merujuk kepada tauladan yang dilakukan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dan Khalifah Harun Ar_Rasyid : menyerahkan zakat fitrah dengan uang seharga (pengganti) bahan kebutuhan pokok adalah boleh.

DR. Yusuf Qardhawi memperkuat pendapat kedua dengan tetap merangkum pendapat pertama, dengan landasan :
• Diktum Rasulullah saw. : “Cukupkan orang-orang miskin pada hari raya ini, agar jangan sampai meminta-minta”. Mencukupkan itu bisa dengan uang (senilai harga makanan pokok), bisa juga dengan makanan pokoknya. Pada kondisi tertentu – ketika makanan banyak dan mudah didapat - terkadang uang bisa dianggap lebih utama, tetapi pada saat musim paceklik – makanan susah didapat – maka tentunya makanan yang lebih utama diberikan.
• Kesesuaian zaman : Pemberian dengan uang (senilai harga makanan pokok) jelas lebih mudah dan efisien di zaman kita dan di tempat (negeri) kita, dimana tidaklah orang-orang bermuamalah kecuali dengan uang (bukan lagi barter). Bisa dipastikan, uang lebih bermanfaat bagi para fuqara dan kaum miskin.
DR. Yusuf Qardhawi berpendapat : Sesungguhnya yang tampak bagi saya bahwa Rasulullah mewajibkan zakat fitrah dengan makanan pokok karena dua sebab ini :
• Jarangnya mata uang di tanah Arab saat itu sehingga dengan memberi makanan lebih memudahkan banyak orang
• Makanan pada saat itu lebih mudah bagi orang yang memberikan dan lebih bermanfaat bagi yang menerima.

Kapan waktu menunaikan zakat fitrah? Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar : “Rasulullah telah memerintahkan untuk menunaikan zakat fitrah sebelum orang-orang keluar melaksanakan shalat ‘Idul Fitri”. Namun patut diperhatikan secara seksama bahwa bila mengakhirkan zakat fitrah setelah shalat ‘Idul fitri adalah :
a. jumhur fuqaha menganggap makruh
b. Imam Ibnu Hazm menganggap haram
c. Imam Asy_Syaukani menyatakan zakat fitrah tersebut berubah status menjadi shadaqah biasa; gugur nilai zakatnya

Oleh karena itu diarahkan agar penunaian zakat fitrah tersebut sebagaimana hadits yang ditakhrij Imam Bukhari dari riwayat Ibnu Umar bahwa ia berkata : “Para sahabat mengeluarkan zakat fitrah satu atau dua hari sebelum ‘Idul Fitri”. Namun Imam Syafi’I berpendapat boleh sejak awal Ramadhan.

Kepada kalangan siapa boleh diberikan zakat fitrah itu? Pendapat yang ada di kalangan para ulama dan fuqaha adalah :
a. Pendapat Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm : kepada delapan ashnaf zakat seperti dalam QS At Taubah(9) : 60.
b. Pendapat Syaikhul Islam Ibnul Qayyim Al Jauzi dari perkataan gurunya, Ibnu Taimiyah : hanya kepada miskin saja.
c. Pendapat fuqaha mazhab Maliki : hanya kepada fakir dan miskin saja.
d. Pendapat jumhur fuqaha : kepada delapan ashnaf zakat seperti dalam QS At Taubah(9) : 60, tetapi dikhususkan/diutamakan kepada miskin saja.

ADAB BERZAKATBeberapa hal yang perlu menjadi perhatian kita pula adalah adab (etiket) dala penunaian zakat. Berikut ditemukan beberapa catatan kecil dari hadits maupun pernyataan dan fatwa dari para ulama dan fuqaha :
1. Berniat.
2. Menampakkan penunaian zakat.
Berkata Imam Nawawi : “Yang paling utama dalam berzakat adalah terlihat sehingga diikuti orang dan agar tak ada penilaian buruk atas orang tersebut (si muzakki). Hal sedemikian sama seperti shalat fardhu yang disunnahkan untuk menampakkannya. Adapun sesungguhnya yang disunnahkan untuk menyembunyikannya adalah dalam melakukan shalat sunnah dan shaum sunnah”.

3. Menyerahkan Zakat (kepada Mustahik secara langsung atau melalui ‘Amil Zakat).
Apabila si muzakki tidak mengetahui siapa si mustahik zakat (dengan berbagai kriteria, ketentuan dan skala prioritasnya), maka beginya wajib mewakilkan kepada orang/lembaga/‘amil zakat partikelir yang terpercaya, tak diragukan kejujurannya dan amanah yang akan mengalokasikannya secara adil (proporsional) kepada yang berhak menerimanya.
Apakah si faqir perlu diberi tahu bahwa pemberian kita adalah zakat ? Maka yang lebih utama adalah tidak memberitahukannya, sebab terkadang ucapan tersebut akan meyakitkan yang menerima. Ini adalah pendapat Imam Hasan bin Shalih, Imam Ahmad, sebagaian mazhab Maliki dan mazhab Ja’fari (dari kalangan Syi’ah).

4. Berdo’a dan mendo’akan.
Ketentuan asal adanya sighat do’a dalam zakat adalah wajib, meskipun lafazh –nya adalah bebas (QS. 9 : 103).
a. ‘Amil Zakat mendo’akan Muzakki
Telah di riwayatkan dari Abdillah bin Aufa, ia berkata: “Apabila datang orang kepada Rasulullah saw. membawa shadaqah (zakat) maka Nabi saw. berkata : “Yaa, Allah, berilah rahmat buat mereka”.” Kemudian datanglah Abu Aufa dengan membawa shadaqah (zakat)-nya maka Nabi saw. berkata : “Yaa, Allah, berilah rahmat keluarga Abu Aufa”.”Do’a ini tidak disertai sighat tertentu. Imam Nasa’i telah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw. berdo’a buat seseorang yang membawa shadaqah (zakat) unta yang baik : “Yaa, Allah, berikanlah keberkahan kepadanya dan kepada untanya”.
b. Do’a Muzakki
Nabi saw. berkata : “Yaa, Allah, jadikan ia harta simpanan yang bermanfaat, dan jangan menjadikannya hutang yang mudharat.” (HR. Ibnu Majah dengan sanad dha’if)
c. Do’a Mustahik kepada Muzakki
Imam Al Manawi mengarahkan kepada para mustahik zakat agar jangan lupa meninggalkan balasan buat para muzakki atas kebaikannya dengan do’a : “Yaa, Allah, jadikanlah zakat itu baginya sebagai ghanimah dan jangan menjadikannya sebagai beban.”
------------------------------------

Sebagai himbauan akhir, ada baiknya kita selaku kaum yang bernaung di bawah syari’at luhur ini tidak sekali-kali melandasi amal‘amal kita dengan dalil syak dan prasangka yang berasal dari keawaman atas ajaran agama kita sendiri. Hal itu disebabkan karena al haqq (tolok ukur/standar kebenaran hakiki) datangnya hanya dari Allah dan RasulNya. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada pembawa risalah abadi, Nabi Muhammad saw., beserta para keluarganya dan para salafush_shalih.
Wallahu a’lamu bish_shawaab.



FIQH MUNAKAHAT

BAGIAN 1
MUQADDIMAH

PENGERTIAN NIKAH
secara bahasa : kumpulan, bersetubuh, akad.
secara syar’i : dihalalkannya seorang lelaki dan untuk perempuan bersenangg-senang, melakukan hubungan seksual, dll .

HIKMAH NIKAH
Islam tidak mensyari’atkan sesuatu melainkan dibaliknya terdapat kandungan keutamaan dan hikmah yang besar. Demikian pula dalam nikah, terdapat beberapa hikmah dan maslahat bagi pelaksananya :
1. Sarana pemenuh kebutuhan biologis (QS. Ar Ruum : 21)
2. Sarana menggapai kedamaian & ketenteraman jiwa (QS. Ar Ruum : 21)
3. Sarana menggapai kesinambungan peradaban manusia (QS. An Nisaa’ : 1, An Nahl : 72)
Rasulullah berkata : “Nikahlah, supaya kamu berkembang menjadi banyak. Sesungguhnya saya akan membanggakan banyaknya jumlah ummatku.” (HR. Baihaqi)
4. Sarana untuk menyelamatkan manusia dari dekadensi moral.
Rasulullah pernah berkata kepada sekelompok pemuda : “Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian mampu kawin, maka kawinlah. Sebab ia lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Namun jika belum mampu, maka berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu sebagai wija’ (pengekang syahwat) baginya.” (HR Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shaum)


VISI ISLAM TENTANG KELUARGA/RUMAH TANGGA
Visi Rasulullah saw tentang keluarga adalah “baiti jannati”. Sebuah keluarga akan menjadi “surga kecil” jika ia memenuhi empat fungsi berikut :

Fungsi Pertama : FUNGSI FISIOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan sarana berteduh yang baik & nyaman.
2. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan kosumsi makan-minum-pakaian yang memadai.
3. Tempat suami-isteri dapat memenuhi kebutuhan biologisnya.

Fungsi Kedua : FUNGSI PSIKOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Tempat semua anggota keluarga diterima keberadaannya secara wajar & apa adanya.
2. Tempat semua anggota keluarga mendapat pengakuan secara wajar dan nyaman.
3. Tempat semua anggota keluarga mendapat dukungan psikologis bagi perkembangan jiwanya.
4. Basis pembentukan identitas, citra dan konsep diri para anggota keluarga.

Fungsi Ketiga : FUNGSI SOSIOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Lingkungan pertama dan terbaik bagi segenap anggota keluarga.
2. Unit sosial terkecil yang menjembatani interaksi positif antara individu anggota keluarga dengan masyarakat sebagai unit sosial yang lebih besar.

Fungsi Keempat : FUNGSI DA’WAH
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Menjadi obyek wajib da’wah pertama bagi sang da’i.
2. Menjadi prototipe keluarga muslim ideal (bagian dari pesona islam) bagi masyarakat muslim dan nonmuslim.
3. Setiap anggota keluarga menjadi partisipan aktif-kontributif dalam da’wah.
4. Memberi antibodi/imunitas bagi anggota keluarga dari kebatilan dan kemaksiatan.

BAGIAN 2
HUKUM DAN JENIS NIKAH

HUKUM NIKAH
Para fuqaha mengklasifikasikan hukum nikah menjadi 5 kategori yang berpulang kepada kondisi pelakunya :
1. Wajib, bila nafsu mendesak, mampu menikah dan berpeluang besar jatuh ke dalam zina.
2. Sunnah, bila nafsu mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina.
3. Mubah, bila tak ada alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah dan/atau alasan yang mengharamkan menikah.
4. Makruh, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan isterinya.
5. Haram, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah sehingga merugikan isterinya.

JENIS NIKAH
Imam Daruquthni mengeluarkan hadits yang bersumber dari Abu Hurairah, bahwa ‘Aisyah ra menyebutkan adanya 4 jenis nikah pada masa jahiliyah (sebelum Muhammad saw menjadi rasul) :
1. Perkawinan Pinang, yaitu seorang pria datang meminang seorang wanita baik secara langsung atau melalui wali si wanita, kemudian menikahinya dengan mahar.
2. Perkawinan Gadai/Pinjam, yaitu seorang isteri yang diperintah suaminya untuk berkumpul dengan pria lain hingga hamil, demi mendapatkan keturunan atau perbaikan keturunan.
3. Poliandri, yaitu sejumlah pria (biasanya kurang dari 10 orang) secara bergilir mencampuri seorang wanita dengan kesepakatan bahwa jika wanita itu hamil dan melahirkan, maka kesemua pria tersebut harus ridha bila kemudian salah satu dari merekalah yang ditunjuk oleh si wanita sebagai ayah dari anak tersebut.
4. Pelacur, yaitu seorang wanita yang memasang bendera hitam di depan rumahnya sebagai tanda siapapun yang berkehendak kepadanya boleh masuk dan menggaulinya. Bila hamil dan melahirkan, kemudian si wanita mengumpulkan seluruh pria yang pernah menyetubuhinya dan memanggil seorang dukun ahli firasat untuk meneliti nasab anak itu lalu memberikan sang bayi kepada sang ayah yang harus tak boleh menolak.
Pada masa Muhammad saw telah menjadi rasulullah, muncul pula jenis-jenis nikah dalam bentuk lain :
5. Nikah Syighar, yaitu seorang wali menikahkan putrinya kepada seorang pria dengan syarat pria tersebut menikahkannya kepada putrinya dengan tanpa mahar.
6. Nikah Mut’ah, yaitu pria yang menikahi seorang wanita untuk jangka waktu tertentu.
7. Nikah Muhallil, yaitu seorang pria A yang menyuruh/membayar (muhallal) seorang pria B (muhallil) untuk menikahi wanita yang pernah dinikahi dan dithalaq sebanyak tiga kali agar dapat dinikahi pria A setelah diceraikan oleh pria B.
8. Nikah Ahli Kitab, yaitu seorang pria mu’min yang menikahi wanita beragama samawi (Yahudi atau Nashrani).
Perhatikan : Hanya jenis nikah nomor 1 (Perkawinan Pinang) yang dihalalkan dalam syari’at Islam.

BAGIAN 3
KHITBAH
PENGERTIAN KHITBAH
secara bahasa : pinangan, lamaran.
secara syar’i : permintaan/perjanjian seorang pria untuk menikahi seorang wanita, baik secara langsung maupun tak langsung

HIKMAH KHITBAH
1. Cara untuk saling mengenal antara calon pasangan suami isteri.
2. Cara untuk mengetahui tabiat, akhlaq dan kecenderungan masing-masing calon pasangan suami isteri.
3. Cara untuk mencapai kemufakatan kedua belah atas berbagai perkara yang prinsipil dan teknis dalam membentuk keluarga.

JENIS KHITBAH
1. Secara langsung : pinangan dilakukan dengan permintaan yang lugas.
2. Secara tak langsung : pinangan dilakukan dengan permintaan dengan bahasa kiasan atau sindiran.

BEBERAPA KETENTUAN DAN ADAB KHITBAH
Pertama : KHITBAH BUKANLAH AQAD NIKAH
Khitbah bukanlah pernikahan itu sendiri. Ia tak lain hanyalah janji untuk menikah, sehingga tidak akan ada konsekwensi hukum pernikahan, seperti misalnya : halalnya khalwat, halalnya senggama, kewajiban nafkah, dsb. Jadi, interaksi antara keduanya haruslah terpelihara dari pelanggaran batas-batas syari’at. Tunangan (saling bertukar cincin) bukanlah penghalal hubungan. Pemberian apapun yang mengiringinya dipandang syari’at sebagai sesuatu yang tidak boleh mengikat dan tak dapat dikenakan syarat apapun.

Kedua : KHITBAH DILAKUKAN DENGAN TETAP MEMELIHARA PANDANGAN
Dr. Yusuf Al Qaradhawi menjelaskan muatan QS. An Nuur (24) : 30-31 bahwa pada dasarnya memandang lawan jenis yang bukan mahram adalah dibolehkan dengan mematuhi 2 syarat :
1. tidak didasari oleh syahwat
2. tidak memanipulasi kelezatan dari pandangan tersebut.
Kaidah tersebut berlaku pula dalam khitbah. Syari’at mengarahkan memandang dalam khitbah melalui dua cara :
1. mengutus seorang wanita yang dipercaya untuk melihat dan melakukan investigasi
2. melihat/menemui langsung
Ketiga : KHITBAH DI ATAS KHITBAH ADALAH HARAM
Para ‘ulama bersepakat mengharamkan khitbah atas seorang wanita yang telah dikhitbah sebelumnya oleh orang lain.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa Rasulullah pernah berkata : “Janganlah seorang diantaramu membeli apa yang telah dibeli oleh saudaranya dan jangan pula mengkhitbah wanita yang telah dikhitbah oleh saudaranya, kecuali ia mengizinkan.” (HR Muslim dengan sanad shahih). Dalam matan hadits riwayat Bukhari : “Rasulullah saw melarang seorang membeli apa yang telah dibeli oleh saudaranya dan melarang mengkhitbah wanita yang telah dikhitbah oleh saudaranya, hingga ia meninggalkannya atau mengizinkannya.”

Keempat : KHITBAH DITERIMA/DITOLAK DIDASARKAN PADA KEPUTUSAN SEORANG GADIS
Seorang gadis memiliki hak menerima atau menolak pinangan yang diajukan kepadanya. Walinya tidak berhak memaksakan kehendaknya kepada sang gadis. Diantara syarat sah pernikahan yang paling asasi adalah kerelaan calon isteri.
Rasulullah bersabda : “Seorang janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri dan gadis dimintakan izinnya, dan izinnya adalah diamnya.” (Muttafaqun ‘alaih) Dalam periwayatan lainnya : “Tidak boleh dinikahkan seorang janda hingga ia diajak musyawarah dan tidak boleh dinikahkan seorang gadis hingga diminta izinnya. Para shahabat bertanya : “Ya Rasulullah, lalu bagaimana izinnya ?” Rasulullah saw menjawab : “Ia diam.” (HR. Jama’ah)

Kebalikannya, bila seorang gadis telah menyetujui pinangan yang diajukan kepadanya, maka walinya tidak boleh menunda untuk menyegerakan pernikahannya.
Rasulullah bersabda : “Tiga yang jangan diperlambat : Shalat bila sudah waktunya, jenazah bila sudah didatangkan dan gadis bila sudah menemukan calon suami yang sekufu’ .” (HR. Tirmidzi)
Kelima : KHITBAH DITERIMA/DITOLAK DIDASARKAN PADA KUFU’(KESEPADANAN)
Khitbah dalam Islam lebih menitikberatkan kesepadanan calon suami dengan calon isteri dalam aspek diin dan akhlaq (QS. An Nuur : 3 & 26), selain aspek sosial, ekonomi, ilmu, dsb.

Keenam : KHITBAH MEMPERKENANKAN HADIAH TAK BERSYARAT
Diperbolehkan adanya tukar cincin ataupun benda lain dalam khitbah, bila maksudnya sebatas saling memberikan hadiah tak mengikat/tak bersyarat dan selama tak ada anggapan bahwa pemberian itu menghalalkan hukum suami-isteri.
Rasulullah bersabda : “Wanita manapun yang dinikahi dengan mahar dan hadiah sebelum ikatan nikah maka mahar itu baginya dan bagi walinya jika ia diberikan sesudahnya.” (HR. Al Khomsah kecuali Tirmidzi)

BAGIAN 4
AKAD NIKAH
PENGERTIAN AKAD NIKAH
secara bahasa : akad = membuat simpul, perjajian, kesepakatan; akad nikah = mengawinkan wanita.
secara syar’i : Ikrar seorang pria untuk menikahi/mengikat janji seorang wanita lewat perantara walinya, dengan tujuan
a) hidup bersama membina rumah tangga sesuai sunnah Rasulullah saw.
b) memperoleh ketenangan jiwa.
c) menyalurkan syahwat dengan cara yang halal
d) melahirkan keturunan yang sah dan shalih.

RUKUN DAN SYARAT SAH NIKAH
Akad nikah tidak akan sah kecuali jika terpenuhi rukun-rukun yang enam perkara ini :
1. Ijab-Qabul
Islam menjadikan Ijab (pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria) dan Qabul (pernyataan mempelai pria dalam menerima ijab) sebagai bukti kerelaan kedua belah pihak. Al Qur-an mengistilahkan ijab-qabul sebagai miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh) sebagai pertanda keagungan dan kesucian, disamping penegasan maksud niat nikah tersebut adalah untuk selamanya.
Syarat ijab-qabul adalah :
a) Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
b) Menyebut jelas pernikahan & nama mempelai pria-wanita
2. Adanya mempelai pria.
Syarat mempelai pria adalah :
a) Muslim & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka); lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Mumtahanah : 9.
b) Bukan mahrom dari calon isteri.
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.

3. Adanya mempelai wanita.
Syarat mempelai wanita adalah :
a) Muslimah (atau beragama samawi, tetapi bukan kafirah/musyrikah) & mukallaf; lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Maidah : 5.
b) Tidak ada halangan syar’i (tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah & bukan mahrom dari calon suami).
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
4. Adanya wali.

Syarat wali adalah :
a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Tidak dipaksa.
d) Tidaksedang melaksanakan ibadah haji.

Tingkatan dan urutan wali adalah sebagai berikut:
a) Ayah
b) Kakek
c) Saudara laki-laki sekandung
d) Saudara laki-laki seayah
e) Anak laki-laki dari no. c)
f) Anak laki-laki dari no. d)
g) Paman sekandung
h) Paman seayah
i) Anak laki-laki dari no. g)
j) Anak laki-laki dari no. h)
k) Hakim

5. Adanya saksi (2 orang pria).

Meskipun semua yang hadir menyaksikan aqad nikah pada hakikatnya adalah saksi, tetapi Islam mengajarkan tetap harus adanya 2 orang saksi pria yang jujur lagi adil agar pernikahan tersebut menjadi sah. Syarat saksi adalah :
a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Dapat mendengar dan melihat.
d) Tidak dipaksa.
e) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab-qabul.
f) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.

6. Mahar.
Beberapa ketentuan tentang mahar :
a) Mahar adalah pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan lainnya) dari seorang suami kepada isteri, baik sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah. Lihat QS. An Nisaa’ : 4.
b) Mahar wajib diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik mertua.
c) Mahar yang tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.
d) Mahar dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.
e) Mahar tidak memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini untuk disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap harus berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat. Rasulullah saw senang mahar yang mudah dan pernah pula

BEBERAPA KETENTUAN TAMBAHAN TERKAIT DENGAN PENYELENGGARAAN AQAD NIKAH
1. Khutbah Nikah.
Disunnahkan sebelum aqad nikah berlangsung, dihadirkan khutbah nikah untuk memberikan wasiat dan bekalan ruhiah kepada kepada mempelai bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan agar dapat mengarungi biduk rumah tangga secara sakinah, mawaddah dan rahmah. Khutbah dapat dilakukan oleh wali ataupun yang lain.
2. Mendoakan kedua mempelai.
3. Adab Malam Pengantin
a. Suami meletakkan telapak tangan kanannya ke kening isterinya dan mendo’akannya
b. Suami bersikap lembut dan menaungi isterinya
c. Saling beradaptasi dan memunculkan suasana harmonis

BEBERAPA KETENTUAN TAMBAHAN TERKAIT DENGAN WALIMATUL ‘URSY
secara bahasa : walimah = berkumpul.
secara syar’i : a) pesta/resepsi perkawinan.
b) makanan yang dihidangkan dalam acara pesta/resepsi perkawinan.
Hukum menghadiri walimatul’ursy adalah fardhu. Sedangkan memenuhi undangan selain walimatul’ursy, para fuqaha berikhtilaf antara fardhu kifayah dan sunnah.

BAGIAN 5
JIMA’
PENGERTIAN JIMA’
secara bahasa : sumber segala sesuatu, tempat bernaung/berlindung, ajakan untuk berkumpul.
secara syar’i : permintaan/perjanjian seorang pria untuk menikahi seorang wanita, baik secara langsung maupun tak langsung

BEBERAPA ISTILAH JIMA’ DALAM AL QUR-AN & AS SUNNAH
1. Mulaamasah (QS. An Nisaa’ : 43).
2. Rafats & Mubaasyarah (QS. Al Baqarah : 187).
3. Massun (QS. Maryam : 20).
4. Wathun.
5. Massulkhitaanain.

HUKUM JIMA’
Jima’ merupakan nafkah batin yang wajib ditunaikan oleh suami. Ia merupakan hak isteri atas suami selama tak ada hal-hal yang menghalangi. Bobot/kadar kewajibannya menjadi ikhtilaaf dikalangan para fuqaha :
Madzhab Hanafiah : Isteri berhak meminta suami untuk melakukan hubungan seksual.
Madzhab Malikiah : jima’ wajib bagi suami jika tak ada faktor ‘udzur.
Madzhab Syafi’iah : suami tidak wajib melakukan hubungan seksual kecuali hanya sekali.
Madzhab Hanablah : suami wajib melakukan hubungan seksual minimal sekali per 4 bulan bila tak ada ‘udzur.

ETIKA JIMA’
1. Berhias dan berwewangian.
2. Mencumbu-rayu yang membangkitkan gairah seksual.
3. Berdoa sebelum jima’.
4. Berwudhu ketika hendak mengulangi, hendak makan atau tidur (bila belum mandi junub).
5. Tidak melakukan jima’ pada saat :
a. kecuali isteri selesai bersuci dari haid atau nifas (QS. Al Baqarah : 222).
b. Isteri sedang puasa wajib (QS. Al Baqarah : 187).
c. Suami/isteri sedang i’tikaaf (QS. Al Baqarah : 187).
d. Suami/isteri sedang thawaaf (QS. Al Baqarah : 197).
6. Tidak melakukan jima’ melalui dubur (anal sex).
7. Tidak melakukan ‘azl (coitus interuptus) tanpa seizin isteri.
8. Tidak menceritakan ‘rahasia kamar’ kepada orang lain.
Ada beberapa pertanyaan yang harus mendapatkan penjabaran yang arif dan dengan hujjah yang kuat untuk perlu diketahui oleh semua kaum muslimin adalah sebagai berikut :
Bagaiamana syari’at mengatur tentang gaya & posisi jima’ ? Lihat QS. Al Baqarah : 223.
- Haruskah jima’ dilakukan dengan mengenakan tutup ?
- Bolehkah melihat kemaluan (farji) dari pasangan kita saat melakukan jima’ ?
- Bagaimana pandangan syari’at tentang oral sex ?
- Bagaimana caranya mandi junub ? Lihat QS. An Nisaa’ : 43
- Bagaimana pandangan syari’at tentang ‘bulan madu’ ?

BAGIAN 6
HAK & KEWAJIBAN SUAMI-ISTERI
PENGERTIAN JIMA’
secara bahasa : sumber segala sesuatu, tempat bernaung/berlindung, ajakan untuk berkumpul.
secara syar’i : permintaan/perjanjian seorang pria untuk menikahi seorang wanita, baik secara langsung maupun tak langsung

HAK KHUSUS ISTERI ATAS SUAMI
1. Menunaikan maharnya secara utuh/sempurna (QS. An Nisaa’ : 4, 20).
2. Nafkah materiil (QS. Al Baqarah : 233).
3. Interaksi yang baik & positif kepada isteri (QS. An Nisaa’ : 19) :
a. Melapangkan nafkah (QS. Al Haaqqah : 7).
b. Bermusyawarah dalam berbagai urusan
c. Memperlakukan isteri dengan lemah lembut, mesra dan memberikan kesempatan senda gurau
d. Melupakan kekurangan isteri, dengan mengunggulkan kebaikannya.
e. Menjaga performa dan penampilan baik di hadapan isteri.
f. Meringankan bebanan kerja domestik isteri.
4. Melindung isteri dari api neraka (QS. At Tahriim : 6)

HAK KHUSUS SUAMI ATAS ISTERI
1. Tha’at dengan sebaiknya.
2. Menjaga & mengelola harta suami dengan baik (QS. An Nisaa’ : 34).
3. Menjaga kemuliaannya & perasaannya
4. Mengatur rumah dan mendidik anak-anaknya.
5. Berbuat baik kepada keluarga suami.

HAK UMUM BERSAMA SUAMI-ISTERI
1. Saling bekerja sama dalam mentha’ati Allah dan taqwa kepadaNya.
2. Saling bekerja sama dalam mewujudkan kebahagiaan dan menghindarkan kenestapaan.
3. Saling bekerja sama dalam membangun keluarga dan mendidik anak.
4. Saling bekerja sama dalam menjaga rahasia.
5. Saling melayani

BAGIAN 7
NUSYUZ DAN THALAQ
A. NUSYUZ

PENGERTIAN NUSYUZ
secara bahasa : menentang, durhaka, sesuatu yang meninggi (irtifaa’)
secara syar’i : isteri yang menentang suami, mengabaikan perintah dan membencinya.

KONSEKUENSI NUSYUZ
Bila didapat adanya indikasi nusyuz maka syari’at menerakan beberapa konsekwensi dicabutnya beberapa hak isteri :
a. nafkah
b. pakaian
c. gilir (bagi yang berpologami)

TAHAPAN SOLUSI NUSYUZ
Lihat QS. An Nisaa’ : 34-35. Tahapan-tahapan tersebut adalah :
1. Menasehati.
2. Pisah ranjang
3. Pukul
4. Mendatangkan hakam dari masing-masing pihak.

B. THALAQ

PENGERTIAN THALAQ
secara bahasa : pelepasan (ithlaaq), hallul_qayyidu (mengurai ikatan)
secara syar’i : seorang suami memutuskan jalinan pernikahan yang sah pernyataan yang jelas maupun kiasan.

HUKUM THALAQ
Para fuqaha bersepakat bahwa thalaq adalah mubah meskipun dibenci. Lihat QS. Al Baqarah : 229 , Ath_Thalaaq : 1 dan An_Nisaa’ : 1. dari beberapa ayat tersebut, dapat ditarik konklusi pemahaman :
Thalaq adalah bagian dari solusi, yang pada kondisi tertentu juteru adalah solusi terbaik.
Thalaq adalah akad cerai suami kepada isteri, bukan sebaliknya. Adapun akad cerai isteri kepada suami disebut khulu’.

RUKUN THALAQ
Thalaq dianggap sah secara hukum apabila memenuhi rukun-rukun di bawah ini :
1. Suami yang mukallaf.
2. Yang ditthalaq adalah isteri yang sah.
3. Adanya lafazh thalaq secara langsung, baik dengan pernyataan yang jelas maupun kinayah.

BEBERAPA BENTUK PERCERAIAN SELAIN THALAQ
1. Khulu’ : isteri menggugat suami agar suami menceraikannya, dengan mendapatkan kompensasi tebusan.
2. Zhihar : suami menceraikan isterinya dengan akad “Punggungmu seperti punggung ibuku”;
ini diharamkan dalam Islam. (QS. 58:2-4)
3. Ilaa’ : sumpah suami untuk tidak menggauli isterinya (maks. 40 hari);
ini dibolehkan selama tujuannya mendidik. (QS. 2:226-227)
4. Li-an : suami menuduh isterinya telah berzina dan/atau menafikan anak yang dikandungnya.

BAGIAN 8
RUJU’ DAN ‘IDDAH
A. RUJU’

PENGERTIAN RUJU’
secara bahasa : kembali, menahan.
secara syar’i : keinginan suami untuk kembali kepada isterinya pasca perceraian. Lihat QS. Al Baqarah : 228

JENIS RUJU’
Lihat QS. An Nisaa’ : 34-35. Tahapan-tahapan tersebut adalah :
1. Ruju’ Thalaq Raj’i : ruju’nya suami kepada isteri sebelum selesai masa ‘iddah; cukup dengan ucapan atau jima’, tanpa harus adanya tajdiidun_nikaah.
2. Ruju’ Thalaq Ba’in : ruju’nya suami kepada isteri setelah selesai masa ‘iddah; harus adanya tajdiidun_nikaah.
a. Ba’in Shughra : Thalaq ke-1 & ke-2
b. Ba’in Kubro : Thalaq ke-3, bisa ruju’ setelah isteri menikah dengan pria lain.

B. ‘IDDAH

PENGERTIAN ‘IDDAH
secara bahasa : menghitung (‘adda)
secara syar’i : masa tunggu (kosongnya rahim dari pembuahan) seorang wanita yang telah dicerai.

HIKMAH ‘IDDAH
1. Menjaga dan memelihara dari rusaknya nasab.
2. Penegasan akan hamil tidaknya seorang wanita setelah perceraian.
3. Memberi kesempatan kepada suami-isteri untuk saling ruju’ dan memperbaiki hubungan.
4. Menginsyafkan bahwa hidup menikah lebih baik dan nikmat ketimbang melajang.
5. Menghormati suami yang meninggal (khusu bagi ‘iddah wafat)

JENIS ’IDDAH
1. ‘Iddah wanita yang dithalaq dalam keadaan hamil, waktunya hingga melahirkan. (QS. Ath Thalaq : 4)
2. ‘Iddah wanita yang dithalaq dalam keadaan tidak hamil, waktunya 3 kali suci dari haidh. (QS. Al Baqarah : 228)
3. ‘Iddah wanita yang dithalaq dalam keadaan belum sempat jima’, maka tak ada masa ‘iddah. (QS. Al Ahzaab : 49)
4. ‘Iddah wanita yang ditinggal wafat suaminya, waktunya 4 bulan 10 hari. (QS. Al Baqarah : 234)

SHALAT BERJAMA’AH

TUJUAN IONSTRUKSIONAL
Setelah mendapatkan materi ini peserta dapat :
1. Mengetahui keutamaan shalat berjama’ah
2. Bersemangat dan termotivsi untuk selalu sholat berjama’ah
3. Bersemangat dan termotivasi untuk selalu sholat berjama’ah di Masjid
4. Melakukan sholat berjama’ah di masjid minimal sholat subuh dan isya’


TITIK TEKAN MATERI
Dengan sholat berjama’ah baik di rumah dan di masjid maka akan mampu membentuk pribadi yang memiliki shahihul ibadah.
Materi ini menguraikan tentang berbagai keutamaan yang diperoleh dari sholat berjama’ah, antara lain shalat di awal waktu, sholat berjama’ah di masjid memiliki pahala yang berlipat ganda, menumbuhkan jiwa disiplin dalam segala urusan yang benar, mejalin silaturahim dengan masyarakat, dapat memberi pelajaran tentang kepemimpinan dll. Dalam sejumlah hadist perinntah melakukan sholat berjama’ah sangat ditekankan, meskipun dalam kondisi yang sangat sulit.
Bagi wanita sholat berjama’ah juga ditekankan, sedangkan tempat untuk berjama’ah disesuaikan dengan situasi dan kondisi. DR. Yusuf Qardlowi misalnya menganjurkan kepada mahasiswi untuk sholat berjama’ah di masjid kampus dengan tujuan untuk syi’ar dan lebih terjaga keamanannya.

POKOK-POKOK MATERI
1. Dalil Qur-an dan hadist tentang shalat berjama’ah
2. Urgensi dan fadhilah shalat berjama’ah
3. Hikmah shalat berjama’ah
4. Shalat berjama’ah yang benar dari sudut fiqh
5. Membaca kitab riyadhus shalihin bab shalat berjama’ah di masjid

TEKNOLOGI PEMBELAJARAN
Berikan prolog tentang keutamaan shalat berjama’ah dalam al-Qur-an dan hadis Rasulullah. Bagaimana Rasulullah sangat menekankan shalat berjama’ah di masjid, terutama subuh dan isya’. Sampaikan pula nilai pahala yang sangat besar diberikan Allah swt bagi orang yang shalat berjama’ah.
Di samping itu, sampaikan kisah-kisah para sahabat yang berusaha keras melakukan shalat berjama’ah. Hasan Al Banna juga telah menggaris bawahi masalah ini dalam risalah ta’lim. Baru dijelaskan aspek fiqh dalam sholat berjama’ah. Misalnya siapa yang lebih berhak menjadi imam, bagaimana bacaan makmum, bagaiman cara masbuk, bagaimana posisi imam dan makmum, termasuk yang terkait dengan makmum wanita. Masalah fiqh ini disampaikan secara sekilas saja, dan dikembangkan dengan diskusi.

KEUTAMAAN SHALAT
a. Mencegah perbuatan keji dan munkar
Allah Ta’ala berfirman:”Sesungguhnya shalat itu mencegah dari segala kekejian dan kemunkaran” (al ankabuut [49]: 45).
b. Melebur dosa-dosa kecil
Bersabda Rasulullah SAW:”Bagaimana pendapat kalian jika sebuah sungai mengalir di muka pintu salah seorang di antara kalian dan kalian mandi di dalamnya tiap hari lima kali. Masihkah ada kotoran tertinggal di tubuh kalian?” Jawab shahabat:”Tidak!” Maka Rasulullah SAW bersabda:”Demikianlah shalat lima waktu; Allah menghapus dosa-dosa kalian dengannya” (HR. Bukhary dan Muslim).
Seorang lelaki telah mencium wanita. Maka dia datang kepada Rasulullah SAW untuk menyerahkan urusan tersebut. Maka Allah Ta’ala menurunkan satu ayat:”Tegakkanlah shalat pada pagi dan sore serta waktu malam. Sesungguhnya kebaikan itu dapat menghapus dosa-dosa.” Orang itu kemudian bertanya:”Apakah hukuman itu khusus untuk aku?” Rasulullah SAW menjawab:”Untuk semua ummatku” (HR. Bukhary dan Muslim).
Rasulullah SAW bersabda:”Shalat lima waktu, Jum’at dengan Jum’at sebagai penebus dosa-dosa yang terjadi antara waktu itu, selama tidak melakukan dosa-dosa besar” (HR. Muslim).

LARANGAN MENINGGALKAN SHALAT FARDHU
Allah Ta’ala telah memerintahkan kepada Kaum Muslimin untuk menjaga shalatnya. Firman-Nya:”
Dalam hakikatnya, sesungguhnya batas pembeda yang sangat tegas antara seorang Muslim dengan orang kafir adalah shalatnya. Jika seseorang menunaikan shalat, maka dia adalah Muslim. Sebaliknya, jika seseorang meninggalkan shalat, maka hakikat sesungguhnya dia telah terjerumus dalam kekafiran. Rasulullah SAW mengingatkan:”Sesungguhnya batas yang memisahkan seseorang dengan kekufuran hanyalah shalatnya, Barangsiapa yang meninggalkan shalat berarti dia telah kafir” (HR. Muslim).
Dalam peringatannya yang lain, Rasulullah SAW bersabda:”Ikatan janji di antara kami dengan mereka adalah shalat. Barangsiapa meninggalkan shalat, berarti dia kafir” (HR. At Tirmidzi).
Seorang ulama tabi’in, Syaqiq Bin Abdullah berkata:”Para shahabat Nabi SAW tiada memandang satu amal apabila ditinggalkan menyebabkan seseorang terjerumus dalam kekafiran, kecuali shalat” (Tirmidzi).

SHALAT BERJAMA’AH
1. Keutamaan
Islam mensyari’atkan kepada ummatnya untuk berjama’ah dalam kehidupan ini. Allah Ta’ala berfirman:”Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah secara berjama’ah …” (Ali Imran [3]: 103).
Rasulullah SAW juga bersabda:”Wajib atas kamu berjama’ah. Tangan Allah bersama berjama’ah” (HR. Muslim).
Dalam kehidupan, Islam mensyari’atkan kepada ummatnya untuk berjama’ah. Demikian pula dalam melaksanakan ibadah shalat. Rasulullah SAW menunjukkan kepada kita keutamaan shalat berjama’ah dibandingkan dengan shalat sendirian:”Shalat berjama’ah lebih utama duapuluh tujuh derajat daripada shalat sendirian” (HR. Bukhary dan Muslim).
Mengapa shalat berjama’ah lebih utama duapuluhtujuh derajat daripada shalat sendirian? Rasulullah SAW telah menjelaskan dibandingkan:”Yang demikian itu karena jika seseorang menyempurnakan wudhu’ kemudian keluar menuju masjid, maka tiada dia melangkahkan kaki selangkah melainkan terangkat satu derajat dan dihapukan dosanya. Ketika dia shalat selalu dido’akan para Malaikat selama dia berada di tempatnya dan tidak berhadats” (HR. Bukhary dan Muslim).

2. Hikmah
a. Menghindarkan diri dari jajahan syaithan
Di antara hikmah shalat berjama’ah adalah menghindarkan diri dari jajahan syaithan. Sabda Rasulullah SAW:”Tiada terdapat tiga orang yang berkumpul baik di dusun, di hutan atu di kota; kemudian tidak menjalankan ibadah shalat berjama’ah, melainkan mereka telah dijajah oleh syaithan” (HR. Abu Dawud).
b. Tidak diterkam kemaksiatan dan kejahiliyahan
Hikmah shalat yang lainnya adalah menghindarkan diri kita dari serigala kemaksiatan dan kejahiliyahan. Rasulullah SAW telah berpesan:”Kerjakanlah shalat berjama’ah! Sesungguhnya serigala itu hanya dapat menerkam kambing yang jauh terpencil dari teman-temannya” (HR. Abu Dawud).

3. Larangan meninggalkan shalat berjama’ah
Demikian utamanya shalat berjama’ah di masjid, sehingga seseorang yang buta datang kepada Rasulullah SAW dan berkata:”Ya Rasulullah, tiada seorang penuntun bagiku untuk menuju masjid. Maka, ijinkanlah aku untuk shalat di rumah”. Rasulullah SAW mengijinkannya. Tetapi ketika orang itu bangkit dari tempat duduknya untuk berjalan pulang, Rasulullah SAW memanggil kembali dan bertanya:”Apakah kamu mendengar suara adzan untuk shalat?” Jawabnya:”Ya!” Sabda Rasulullah SAW:”Jika demikian, engkau harus daytang menyambutnya” (HR. Muslim).
Demikian pula, ketika Abdullah Bin Ummi Maktum berkata:”Ya Rasulullah, kota Madinah ini banyak binatang buas dan jahat”. Maka Rasulullah Saw menjawab:”Hayya ‘alash shalah, hayya ‘alal falaah? Jika kamu mendengar, maka datanglah ke mari!” (HR. Abu Dawud).
Mereka yang mendapatkan halangan untuk menunaikan shalat berjama’ah seperti kebutaan serta rintangan berupa binatang buas, tetap diperintahkan Rasulullah SAW menghadiri shalat berjam’ah; selama mereka mendengar seruan adzan. Terlebih lagi bagi mereka yang sama sekali tidak menemui hambatan untuk berangkat menunaikan shalat berjama’ah. Sampai-sampai Rasulullah Saw berpesan:”Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya! Saya ingin menyuruh orang-orang mengumpulkan kayu api, kemudian aku perintahkan mu’adzin untuk mengumandangkan adzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk menjadi imam bagi orang-orang banyak. Sedangkan saya akan pergi menuju rumah orang-orang yang tidak mendatangi shalat berjama’ah dan akan aku bakar rumah mereka beserta penghuninya” (HR. Bukhary dan Muslim).
Demikian pentingnya shalat berjama’ah, sampai-sampai Rasulullah SAW berkeinginan untuk membakar rumah orang yang tidak menunaikan ibadah shalat berjama’ah tanpa adanya udzur; bahkan dibakar beserta isinya. Orang-orang seperti ini di masa Rasulullah SAW, yaitu yang enggan menunaikan shalat berjama’ah di masjid, sebenarnya hanyalah orang-orang munafiq yang telah jelas-jelas kemunafiqannya. Ibnu Mas’ud RA berkata:”Sungguh, dahulu pada masa Rasulullah SAW tiada seorangpun yang tertinggal dari shalat berjama’ah kecuali orang-orang munafiq yang jelas kemunafiqannya. Sungguh, ada kalanya seseorang itu sampai dihantar menuju masjid dengan didukung oleh dua orang sebalah kanan dan kirinya untuk ditegakkan dalam barisan shaf” (HR. Muslim).

4. Berjalan ke masjid
Kaum Muslimin disyari’atkan untuk melaksanakan shalat wajib di masjid, sedangkan shalat sunnah dapat dilaksanakan di rumah. Allah Ta’ala menyediakan pahala yang besar bagi mereka yang berjalan ke masjid untuk menunaikan shalat. Sabda Rasulullah SAW:”Barangsiapa pergi pada pagi atau sore hari menuju masjid, maka Allah menyediakan baginya hidangan di surga setiap dia pergi baik sore ataupun pagi hari” (HR. Bukhary dan Muslim).
Salah satu indikator kuatnya iman di dalam dada seorang Muslim adalah langkah kakinya menuju masjid. Rasulullah SAW bersabda:”Jika kamu melihat seseorang yang biasa ke masjid, maka saksikan olehmu bahwa ia beriman. Sebagaiman firman Allah Ta’ala:”Sesungguhnya yang memakmurkan masjid itu hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir” (HR. At Tirmidzi).
Langkah kaki kita menuju masjid sendiri merupakan hitungan pahala yang besar dari Allah Ta’ala. Langkah pertama berfungsi menghapus dosa, sedangkan langkah berikutnya menaikkan derajat. Rasulullah SAW berfirman:”Barangsiapa yang bersuci di rumahnya, kemudian berjalan menuju masjid untuk menunaikan shalat fardhu, maka semua langkahnya dihitung. Langkah yang satu untuk menghapus dosa dan langkah berikutnya untuk menaikkan derajat” (HR. Muslim).
Begitu indah keutamaan berjalan menuju masjid, sampai-sampai salah seorang shahabat Anshar yang rumahnya sangat jauh dari Masjid tetap berjalan dengan istiqamahnya. Bahkan dia tidak pernah terlambat untuk menunaikan shalat fardhu di masjid. Salah seorang shahabat memberikan usulan kepadanya:”Seandainya kamu membeli keledai sebagai kendaraan di waktu gelap atau panas”. Maka shahabat Anshar tersebut malah menjawab:”Saya tidak ingnin kalau rumahku berada di sebelah masjid. Saya ingin tercatat dalam amal kebaikanku adalah perjalananku menuju masjid dan kembalinya aku menuju rumah keluargaku”. Rasulullah SAW kemudian mengomentari orang tersebut:”Allah Ta’ala telah mengumpulkan bagi kamu semua itu” (HR. Muslim).
Bani Salamah pernah berniat untuk memindahkan rumah di dekat Masjid Nabawi, karena suasana sekitar masjid masih sepi. Mendengar hal itu, Rasulullah SAW bertanya:”Saya dengar kalian akan pindah dekat dengan masjid?” Maka Bani Salamah menjawab:”Benar, ya Rasulullah. Kami menghendaki seperti itu”. Maka Rasulullah SAW bersabda:”Wahai bani Salimah! Tetaplah kalian di kampung kalian, karena akan tercatat untuk kalian amal-amal kalian pada bekas-bekas langkah kakimu itu”. Dengan nasihat Rasulullah SAW tersebut, maka Bani Salamah mengurungkan niatnya untuk berpindah dekat Masjid Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW telah bersabda pula:”Sesungguhnya sebesar-besar pahala yang akan diterima manusia dalam masalah shalat adalah mereka yang paling jauh jarak perjalanannya” (HR. Bukhary dan Muslim).

5. Menantikan Shalat
Jika adzan telah memanggil, maka tidak ada yang dapat kita lakukan kecuali memenuhi panggilannya untuk segera shalat. Kita harus menghentikan aktifitas kita, dan kemudian beranjak bersiap-siap shalat. Sehingga kita tidak tertinggal dalam shalat. Rasulullah SAW:”Barangsiapa ingin bertemu Allah sebagai seorang Muslim, maka dia harus benar-benar menjaga shalat pada waktunya ketika terdengar suara adzan” (HR. Muslim).
Ibnu Mas’ud RA pernah bertanya kepada Rasulullah SAW:”Apakah amal perbuatan yang utama?” Maka Rasulullah Saw menjawab:”Shalat tepat pada waktunya” (HR. Bukhary dan Muslim).
Rasulullah SAW mengajak Kaum Muslimin untuk menanti shalat, bukan sebaliknya, shalat menantikan kehadiran kita. Sabda beliau:”Senantiasa seseorang itu dianggap dalam keadaan shalat, selama dia tertahan oleh menantikan shalat. Tidak ada yang menahannya untuk kembali ke rumahnya hanya semata-mata karena menantikan shalat” (HR. Bukhary dan Muslim).
Demikian pula, ketika seseorang tetap berada di tempatnya dalam masjid setelah menunaikan shalatnya. Para Malaikat akan mendo’akan dirinya dengan do’a:”Ya Allah berilah ampunan baginya. Ya Allah, kasihanilah dia” (HR. Bukhary).
Maka sudah semestinya apabila kita bersegera menuju masjid ketika mendengar suara adzan. Dan ketika selesai menunaikan shalat, usahakan untuk tidak terburu-buru meninggalkan masjid. Demikianlah adabnya.

6. Shaf pertama
Itsar merupakan akhlaq yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Itsar adalah mendahulukan kepentingan saudaranya daripada kepentingan dirinya sendiri, meskipun sebenarnya dia sendiri masih membutuhkannya. Tetapi yang perlu difahami adalah, itsar itu sunnah untuk hubungan mu’amalah. Sedangkan untuk ibadah mahdhah, seperti shalat, itsar itu justru makruh. Sehingga, kita diperintahkan untuk mengambil posisi shaf pertama dalam shalat berjama’ah. Jangan kita justru mempersilakan untuk menempati shaf pertama yang seharusnya kita tempati. Makruh hukumnya.
Demikianlah Rasulullah SAW menyebutkan keutamaan shaf pertama dalam sabdanya:”Andaikan saja orang-orang itu mengetahui betapa besar pahala orang yang mendatangi adzan dan mengambil posisi shaf pertama. Seandainya untuk mendapatkan tempat itu mereka harus diundi, tentu mereka akan berundi untuk memperolehnya” (HR. Bukhary dan Muslim).
Memang sebaik-baik shaf bagi laki-laki adalah shaf terdepan, sedangkan seburuk-buruk shaf laki-laki adalah yang paling belakang. Dan sebaliknya untuk wanita. Rasulullah SAW bersabda:”Sebaik-baik shaf lelaki adalah yang terdepan dan yang terbusuk adalah yang paling belakang. Sebaik-baik shaf wanita adalah yang terakhir dan yang paling busuk adalah shaf terdepan” (HR. Muslim).

MARAJI’
1. Imam An-Nawawi, Riyadhus shalihin, Imam Ghazali Ihya Ulumudin
2. Sayyid Sabic, Fiqhus Sunnah, Taqrib
3. Qardawi, Yusuf, Fatwa Kontemporer
4. Qardawi, Yusuf, Al-ibadah fil Islam

Rabu, 27 Maret 2013

Berita Koran Riau Pos


Riau Pos
 
RABU, 27 MARET 2013

Wawako Sharing Penanggulangan AIDS

Wakil Wali Kota (Wawako) Pekanbaru, Ayat Cahyadi menyampaikan sharing dalam penanganan AIDS di Kota Pekanbaru. Ini disampaikan nya dalam pertemuan KPA Nasional, Senin di Bogor Jawa Barat.

Ini disampaikan Wawako Ayat Cahyadi diampingi Sekretaris KPA Kota Pekanbaru , Hasan Supriyanto Selasa di Pekanbaru. Pertemuan yang di kemas dalam bentuk pelatihan Peningkatan Kapasitas Pelaporan untuk penulis dan KPAD tingkat nasional, disambut peserta pertemuan nasional lainnya tentang sistem penanggulangan AIDS di Pekanbaru.

Ayat Cahyadi lebih banyak menyampaikan pengalaman nya dalam pelaksanaan penanggulangan AIDS di Kota Pekanbaru. Pengalaman yang di lakukan KPA Kota Pekanbaru dinilai patut untuk di bagikan dengan KPA yang lain.

Bahkan salah seorang peserta mengusulkan agar KPA Nasional agar Ayat Cahyadi kembali di undang dalam pertemuan selanjutnya yang mengundang seluruh Wakil Wali Kota atau Wakil Bupati selaku ketua pelaksana KPA Kabupaten/Kota.

Melalui kegiatan ini di harapkan antar KPA daerah saling berbagi pengalaman dan bertukar pikiran.

Karena dari berbagai pengelaman yang terpilih terdapat hal-hal yang spesifik dan dapat diadopsi oleh daerah lain.